Muhammad Dliyaul Kamil
(Penulis adalah Santri Pondok Tasywiqul Furqon Kajeksan, Kecamatan Kota, Kudus)
Awal Ramadan pada 1445 H yang segera datang, berpotensi terjadi perbedaan. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah (awal puasa 2024) jatuh pada 11 Maret 2024.
Penetapan itu, sebagaimana banyak dikabarkan di berbagai media massa, berdasarkan ketetapan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Sementara, pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU), belum menentukan kepastian awal Ramadan 1445 Hijriah, lantaran akan melakukan rukyatul hilal terlebih dahulu, yang rencananya akan dilangsungkan pada Ahad (10/3/2024) mendatang.
Rukyatul hilal, adalah sala satu metode yang selama ini dipakai oleh pemerintah dan juga NU, dalam penentuan awal Ramadan, awal Syawal, Zulhijjah dan penentuan awal-awal bulan qomariyah lain secara umum.
Pemerintah dan juga NU berpatokan terkait pentingnya metode rukyatul hilal dalam penentuan awal Ramadan, juga awal Syawal dan Zulhijjah, berpedoman pada al-Quran Surat Al Baqarah ayat 185 yang artinya sebagai berikut:
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur”.
Dalam satu hadis, Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فإنْ غُبِّيَ علَيْكُم فأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya: Berpuasalah kamu semua dengan melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kamu semua dengan melihat hilal (Syawal). Bila hilal tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Syakban menjadi 30 hari.”
Permasalahannya, bagaimana jika ada potensi perbedaan awal Ramadan, yang itu terjadi lantaran adanya perbedaan metode dalam penetapannya?
Terkait potensi perbedaan yang ada pada awal Ramadan tahun ini, maka semestinya masing-masing pihak bisa saling menghargainya. Sebab, satu dengan lainnya memiliki pijakan keilmuan yang dipergunakan untuk mengkaji dan kemudian menetapkannya.
Namun begitu, alangkah baiknya jika terkait penetapan awal Ramadan itu, kita mengikuti penetapan dari pemerintah.
Disebutkan dalam Surat An-Nisa’ ayat 58, yaitu:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”
Untuk itu, sebagai wujud taat kepada ulul amri, dalam konteks awal Ramadan, alangkah baiknya jika kitu menunggu penetapan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI, usai rukyatul hilal yang akan dilakukan diberbagai daerah di Indonesia nanti. Wallahu a’lam. (*)