Oleh: Muhammad Dliyaul Kamil
Aktivitas mudik Lebaran, merupakan hal yang selalu dinanti-natikan oleh para perantau.
Mudik atau yang bisa disebut dengan pulang kampung, ini merupakan tradisi tahunan masyarakat Indonesia menjelang perayaan Idulfitri
Masyarakat yang mudik tersebut, ingin merayakan Idulfitri bersama keluarga di kampung halaman.
Untuk bisa memenuhinya, perjalanan jauh dari tanah rantau ditempuh siang malam, dengan harapan berlebaran di kampung halaman bersasama sanak saudara di kampung, akan tertunaikan.
Namun perjalan mudik ini akan terasa berat, saat perjalan mudik ini ditempuh di siang hari. Udara panas, ditambah kondisi tubuh yang sedang berpuasa, mempercepat tubuh kehilangan banyak cairan.
Hal tersebut pun menyebabkan perjalan yang dilalui terasa berat. Maka dengan kondisi itu, Islam memberikan keringanan dalam berpuasa bagi pemudik, karena beratnya perjalanan untuk mudik.
Pemudik yang merasa perjalanannya berat, untuk membatalkan puasanya. Namun keringanan ini hanya berlaku jika pemudik telah memenuhi tiga syarat.
Pertama, perjalanan yang ditempuh berjarak minimal 82 kilometer. Dengan jarak minimal sejauh ini, permudik juga mendapat keringanan untuk melakukan jamak – qasar salat selama perjanan.
Kedua, perjalanan pemudik ini harus dimulai sebelum terbit fajar atau waktu Shubuh. Namun menurut madzhab Imam Ahmad bin Hambal, dimulainya perjalanan sebelum waktu Shubuh ini tidak dijadikan sebagai sebuah syarat bagi pemudik agar mendapat keringan dapat membatalkan puasanya.
Pertanyaannya, antara puasa dan tidak (selama perjalanan mudik), lalu mana yang lebih baik?
Bagi pemudik, lebih dianjurkan untuk tetap mempertahankan puasanya. Ini sesuai anjuran Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 184: Berpuasa itu lebih baik bagimu jika kalian mengetahui.
Akan tetapi jika dengan berpuasa akan menyebabkan kesulitan bagi pemudik, seperti rasa sakit yang ditimbulkan akibat kelelahan, maka lebih baik membatalkan puasanya.
Ketiga, maksudnya mengambil keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah pada saat membatalkan puasa. Jika saat membatalkan puasanya tidak disertai niat mengambil rukhsah, maka keringanan atas diperbolehkan membatalkan puasa, tidak berlaku.
Pada akhirnya, adanya kekeringan dapat membatalkan puasa bagi pemudik, ini kiranya dapat menjadikan perjalanan kampung pulang ini bisa berlangsung dengan lancar, nyaman dan aman hingga sampai kampung halaman. Selamat mudik. Wallahu a’lam . (*)
Muhammad Dliyaul Kamil, santri Pondok Pesantren Tasywiqul Furqon Kajeksan, Kota, Kudus.