Oleh: Muhammad Naufal Aakif
Islam merupakan agama yang sangat kompleks dalam urusan mengatur tata cara hidup seorang muslim. Segala aspek, baik dari yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah), maupun hubungan manusia dengan manusia (muamalah), dibahas secara sepesifik dalam Islam.
Tidak cukup hal tersebut, melainkan masih banyak sekali hal-hal yang lumrahnya dianggap remeh dalam keseharian, namun ternyata dibahas (dijelaskan) secara mendalam dalam Islam tersebut.
Islam, misalnya, mengajarkan bahwa dalam beribadah, seseorang harus membersihkan hatinya dari penyakit–penyakit hati. Sebab, adanya penyakit hati bisa membuat pahala ibadah seseorang menjadi hangus.
Contoh kecilnya adalah ketika seseorang beribadah, tetapi di dalam hatinya ada sifat riya. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa riya merupakan sikap ingin dilihat orang lain, dengan mengharapkan apresiasi yang sepadan dengan itu.
Sifat riya dapat masuk ke ibadah apapun, tanpa pandang bulu. Namun ada satu ibadah yang sama sekali tidak mempunyai unsur riya, yaitu puasa.
Mengapa puasa bisa menjadi ibadah yang tidak mempunyai unsur riya?
Alasan mudahnya, karena puasa merupakan ibadah yang tidak dapat kita bedakan secara jelas antara seseorang itu melakukan puasa atau tidak.
Sebab, tidak adanya perbedaan yang mencolok sedikit pun ketika seseorang itu melakukan puasa maupun tidak berpuasa. Berbeda dengan ibadah lain baik itu salat, haji dan lainnya yang berpotensi besar memunculkan sifat riya.
Secara jelas, mereka yang mendirikan salat, melaksanakan haji, seseorang bisa melihatnya. Berbeda dengan puasa, hanya diri sendiri dan Allah subhanahu wataala semata yang tahu.
Dikutip dari NU Online, ada empat tanda riya dalam diri seseorang, sebagaimana diklasifikasikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
- Malas ketika sendirian.
- Rajin saat di tengah banyak orang.
- Amalnya meningkat kala dipuji.
- Menurun kala dicaci.
Maka semestinya, seharusnya seseorang memperhatikan hal-hal seperti ini, sehingga bisa menjaga diri supaya tidak terjerumus dalam sifat riya.
Sebaimana disebutkan dalam Surat An Nisa ayat 142:
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.
Demikian sekilas penjelasan mengapa puasa disebut sebagai ibadah yang jauh dari potensi sifat riya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (*)
Muhammad Naufal Aakif,
Penulis adalah santri Pondok Pesantren Tasywiqul Furqon Kajeksan, Kota, Kudus.